Cerpen : Hati Yang Terbengkalai, Bag. 1

Aku duduk termenung di pojok sudut kamar yang tak cukup luas, menyadari kebodohan diri yang menyebabkan penyesalan yang sangat. Seraya memandangi dua foto yang berlainan rupa, aku teteskan eluh yang tak tahu untuk apa dia menetes. Kebingungan yang sangat ini berawal dari kedatangannya. Namun juga tak bisa dipungkiri, ulah membosankan darinya pula yang menyebabkan ini terjadi.
Pertengahan Agustus yang lalu, ketika aku mendapatkan tugas keluar kota, tak terasa diri sudah mengawali permainan haram ini. Di dalam bus jurusan Banyuwangi, ku temui sesosok gadis dengan paras wajah nan ayu. Aku pandangi barisan depan bangku bis tersebut sudah penuh sesak oleh makhluk – makhluk yang hendak bepergian. Namun kulihat disamping gadis itu ada satu tempat untuk seorang. Dengan sedikit terpaksa dan keinginan serta rasa penasaran yang mendorongku untuk duduk disamping gadis itu.
Senyum ramah darinya mengawali kisah panjangku yang suram ini.
”Mau kemana Mas?” sapanya.
”Oh ini, aku ada tugas mendadak ke luar kota. Mbaknya sendiri mau kemana?” jawabku. ”Mau ke Pasuruan Mas.” jawabnya dengan senyum yang semakin indah seakan membuatku berharap bus berjalan perlahan.
”Mau apa ke Pasuruan?”
”Mau kembali ke tempat kost Mas, besok pagi udah kerja.” jawabnya.
”Oh kerja, kerja di mana?” tanyaku lagi.
”Kerja di pabrik Mas, dapat sift pagi. Masnya sendiri kerja di Mana?”
”Aku kerja di konsultan teknik. Ini berhubung ada proyek di Banyuwangi, sementara aku dibutuhkan sekali di sana, jadi ya aku berangkat meskipun mendadak banget.” jawabku mengawali perbincangan hangat selanjutnya. Lama sudah kita bercengkerama. Bercanda, tertawa, dan tak lupa kita bertukar nama dan nomor telephon. Dari sini aku ketahui bahwa nama gadis manis ini adalah Dita. Semakin lama perbincangan kita semakin hangat, semakin dekat pula perpisahan kita karena sebentar lagi dia akan turun.
”Turun mana Mas?” sapa kondektur yang memecahkan obrolanku.
”Oh, turun Banyuwangi Pak, berapa?” tanyaku kembali.
”Banyuwangi mana?” ”Kecamatan Giri.” jawabku.
”Hemm,,, enam puluh ribu Mas.” kata kondektur tersebut. ”Klau Mbaknya mau ke mana? Tanyanya pula kepada Dini, gadis manis yang duduk di sebelahku.
”Mau ke Pasuruan Pak.”
”Eh ini aja Pak sekalian jadi satu.” sahutku memotong pembicaran mereka seraya menyodorkan dua lembar uang lima puluh ribuan.
”Lho makasih lho Mas, jadi gag enak nich.” sapanya malu.
”Udah gak papa, santai aja.” jawabku enteng.
”Eh kamu punya FB gak?” tanyaku yang sedikit aneh. Mungkin karena kehabisan kata – kata, sehingga apa saja aku tanyakan.
”Oh, punya Mas. Masnya sendiri punya apa gag?
”Aku punya kok. Apa alamat FB kamu?” tanyaku dengan sedikit memaksa.
”Ehm,,, ntar aja dech aku sms. Ya udah ni dah mau nyampe, aku siap – siap mo turun dulu ya Mas.” ungkapnya yang sedikit membuatku tak percaya. Sungguh waktu cepat sekali berlalu. Hati kecilku pun mulai bertanya – tanya, akankah kita bertemu lagi?
Mataku tak berpindah dari menatapkan kepergiannya. Rasanya aku telah berpisah dari sesuatu yang sangat berharga bagiku. Aku sedih tanpa alasan. Dari tutur katanya, dari mata serta senyumnya, dia sungguh sempurna. Mungkin itulah kesimpulan awalku bertemu dia.
Tapi sekarang aku sendiri. Tiada teman berbicara. Dalam kesendirian ini teringatlah sesosok yang sangat dekat di hati, yang beberapa saat lalu sedikit aku lupakan. Ya, dialah kekasihku. Sebut saja namanya Nadia. Dengan sedikit perasaan bersalah aku berguman. ”Dik, maafin aku.”
Kala itu aku memang tengah bertengkar dengan Nadia. Hubungan kita pun serasa di ujung tanduk. Banyak hal darinya yang membuatku marah, kecewa, dan sedikit manjauh darinya. Namun karena kesetiaan dariku (mungkin itulah yang bisa aku katakan), aku mencoba untuk bertahan. Aku berprinsip, dulu aku yang menyatakan cinta kepadanya, sehingga tak layak jika aku pula yang mengakhiri hubungan ini. Untuk itulah aku selalu bertahan dengan cinta ini, meskipun hati ini selalu terluka.
Udah nympe mn Mas? Gmn di bus, dah dpt temen ngobrol br pa blom? Kl blom Aq temenin smsan ya. Sms Dita yang memotong lamunanku.
Udh mo msk Probolinggo, td u kmn? Kq turun di Bangil?
Oh. td aq kdokter dlu mas, bdanq tdk enk. Agk meriang gt.
Yawdah kl gt, dita istrahat adjah y
Begitulah perbincangan kami melalui sms. Aku rasa cukup sampai di sini kebodohan ini terjadi, tenyata ini berlanjut sampai aku tak tahu harus bagaimana. Memang tidak selayaknya kejengkelanku dengan Nadia aku luapkan dengan mencari kenalan baru, meskipun tidak ada niatan untuk mencari penggantinya. Tapi aku pun tidak dapat memungkiri jikalau sosok Dita begitu sempurna di mataku. Pertemuan pertama yang mengesankan ini, harus ku sesali atau ku syukuri. Aku tidak tahu.
Tapi hati ini butuh penyegaran setelah mendapat ribuan amarah dari Nadia. Aku biarkan diri ini terbelenggu oleh arus takdir yang tak pernah aku rencanakan. Perkenalanku dengan Dita pun tak terencana.
..................................................................................................
Seminggu tak terasa. Waktuku kembali ke kota asal tiba. Dengan harapan besar untuk bertemu seseorang, entah itu Nadia atau Dita. Tapi aku tak percaya dengan diri ini. Oh tuhan, betapa bodohnya aku. Aku sms Dita yang isinya kapan kita bisa bertemu lagi. Ingatanku pada Nadia lah yang membuatku merasa bersalah kembali. Namun aku juga tak memungkiri kalau hatiku berkata, aku kangen sama Dita.
Namun kehadiranku di kota asal tak meredam perselisihanku dengan Nadia. Kami masih saling bersikeras mempertahankan ego masing – masing. Banyak hal yang talah kita lakukan. Mulai dari saling membuka aib masing – masing, saling ejek dengan mengingatkan hal – hal buruk yang sudah lalu, dan tak terkecuali pula perang facebook. Kita saling berkirim surat yang isinya penyesalan akan sikap masing – masing melalui facebook. Hingga pada puncaknya, dia mengatakan hal yang tak sepantasnya dia katakan sebagai seorang perempuan. Dia berbicara kotor kepadaku. Oh sungguh hati ini tidak bisa memafkan. Hati ini sudah terlanjur sakit. Dan hal yang tak diingkan pun terjadi. Kami mengakhiri hubungan yang sudah berjalan hampir dua tahun ini.
Dalam kesendirianku ini, aku semakin liar. Sikapku tak terarah lagi. Aku sering keluar malam, dan pulang hampir jam satu malam. Begitulah keseharianku saat itu. Mungkin karena depresi, mungkin pula karena penyelasan yang sangat.
Dalam hal demikian, aku semakin mendekatkan diri kepada Dita. Aku terus berkirim pesan singkat atau sms, ataupun melalui facebook. Tutur katanya, ramah tamahnya, sikapnya, sungguh membuatku tertegun. Aku benar – benar terpesona oleh sikapnya yang sangat bijaksana. Parasnya yang cantik terpancar dari sikapnya. Manis senyumnya bermuara dari tingkah lakunya. Dan hati yang sudah mati ini kembali bergejolak. Rasa kangen akan kelembutan dan kedewaannya, kini berubah menjadi rasa sayang. Rasa sayang yang kembali menumbuhkan cinta yang tak terarah. Terlebih hati ini sudah kosong. Hampa oleh amarah yang tak berkesudahan. Dan tanpa sadar pun sebuah layang melalui facebook terkirim kepadanya. Oh Tuhan, aku telah menyatakan cinta kepada Dita. Sungguh aku tak percaya. Antara rasa malu, bimbang, ragu, dan takut bercampur jadi satu. Andai pesan itu dapat dihapus, mungkin aku akan menghapusnya sebelum Dita membacanya. Namun pesan telah terkirim, tiada daya buatku untuk menahan Dita agar tak membaca surat ini.
Kebodohanku ini membuatku rasa takut yang sangat. Bukannya takut untuk ditolak, karena hati ini telah lama sakit karena ulah wanita. Namun yang kutakutkan adalah kebencian Dita karena ulahku tersebut yang mengakibatkan dia menjauh dariku. Sungguh – sungguh aku sayangan jika sampai dia menjauh dariku.
Setiap minggu, bahkan setiap hari selalu aku kunjungi warnet. Dengan berharap cemas menanti balasan pesan dari Dita. Akhirnya pada suatu hari yang telah lama kunanti, aku kembali membuka jejaring sosial tersebut. Sungguh terbelalak mataku saat melihat ada pemberitahuan dalam facebook bahwa aku telah mempunyai satu pesan yang belum dibaca. Aku buka pesan tersebut dengan hati bimbang gulana. Oh, alangkah terkejutnya aku. Pesan yang telah lama kunanti kini telah datang. Dita membalas pesanku.
Aku baca perlahan dengan penuh perasaan. Aku amati bait ke bait. Dan dengan kebijaksanaan serta kedewasaannya, dia menjawab dengan gurauan. Jangan sampai Tuhan, jangan sampai ini terjadi lagi. Ya, dia menggantungkan perasaanku. Entah apa yang dia pikirkan, tapi yang jelas aku jadi tidak tenang dibuatnya. Separuh hatiku berkata kalau dia sayang kepadaku dan mampu menggantikan posisi Nadia yang telah lenyap dari hatiku. Namun separuh hatiku lagi merasa malu dan pesimis.
Namun justru dengan ini aku semakin dibuat penasaran olehnya. Langkahku semakin gencar untuk merebut hatinya. Aku pun tak henti – hentinya mengunjungi warnet, hanya untuk melihat fotonya, melihat pesan barangkali dia mengirim sesuatu untukku, dan yang tak bisa ku elak sedikit aku juga mengontrol facebooknya. Aku pun tak tahu kenapa aku jadi seperti ini. Ada rasa tak senang jika ada nama laki – laki di dalam facebooknya. Oh Tuhan, mungkinkah aku kembali pada kebodohan yang dulu sudah aku alami. Jangan, aku gag mau jatuh ke dlam lubang yang sama.
Ringkasnya, aku dulu sungguh sangat menggagumi sesosok gadis. Namanya Sari. Dia polos, pendiem, dan tentunya cantik dan manis. Waktu itu aku masih duduk di bangku kelas tiga smp. Sarilah perempuan pertama yang pernah menjatuhkan hatiku. Hingga kini pun aku masih sayang padanya.
Namun apa yang dia lakukan. Penantianku bertahun – tahun tak kunjung datang. Jangankan kata cinta darinya, penolakan akan cintaku pun tak kudengar. Dia menggantungkan perasaanku. Hingga lulus smp, hingga aku menempuh pendidikan menengah atas, dia tetap masih diam. Bahkan hingga aku lulus dari sma, dari masih saja diam.
Akhirnya tanpa sengaja datang tawaran mendadak untuk bekerja di Ibu Kota Jakarta semenjak aku lulus sma. Tanpa melihat berapa gajinya, tanpa mengetahui apa pekerjaanku, aku terima saja tawaran itu. Harapanku waktu itu hanyalah terlepas dari belenggu bayang – bayang manis Sari. Ya, aku ingin sedikit melupakannya. Dengan kepergianku ke Jakarta, aku mungkin bisa melupakannya, atau mungkin aku juga merubah gaya hidupku. Mungkin itulah yang terfikir olehku waktu itu.
Namun apa yang kurasa. Cintaku kepada Sari begitu besar. Tak bisa sedikit pun wajah Sari terhapus dari benakku. Hingga gajiku lenyap tak tersisa hanya untuk mendengar kabar darinya melalui telepon. Waktu itu aku belum sempat membeli HP. Sehingga aku hubungi dia dari warung telephone. Sehari dua puluh lima ribu, dan bahkan pernah sampai tujuh puluh ribu. Pada hal aku telephone seminggu bisa dua sampai tiga kali. Oh bodohnya aku, tapi kenapa diri ini tidak menyesal.
Sungguh cinta itu buta. Sungguh cinta itu membodohi. Kabar baiknya merupakan berita terbaik untukku, meskipun tak sepeserpun aku bawa pulang ketika kembali ke tanah air. Enam bulan aku di sana, enam bulan pula aku jauh dari Sari, dan enam bulan juga aku tambahi deritaku. Kakiku sakit pada waktu itu, sehingga aku hanya bisa bertahan sampai enam bulan saja di Jakarta.
Sesampainya di kotaku, hanya eluh yang bisa aku berikan untuk kedua orang tuaku setibanya dari perantauan. Bagaimana tidak, sepulang dari bepergian jauh, aku tak membawa apa – apa. Dan tak bisa kutahan pula tangis kedua orang tuaku yang membawaku turut dalam kesedihan. Namun dengan pengorbanan ini, aku gag mau putus semangat. Aku harus dapatkan hati Sari kembali. Dan untuk kesekian kalinya, mungkin mencapai seratus kalinya, aku kembali menyatakan cintaku padanya. Tapi lagi – lagi dia hanya diam. Lagi – lagi dia menggantungkan perasaanku.
Ah sudahlah, anggap saja ini pelajaran untukku. Gadis pertama yang hadir dalam hatiku tak merespon rasa cintaku yang begitu dalam. Enam tahun sudah kugendong hubungan tanpa status ini.
Menginjak usia sembilan belas tahun, aku mencoba sibukkan diriku dengan mencari pekerjaan. Karena sepulang dari Jakarta, aku jadi pengangguran. Sedikit demi sedikit kurasakan pahitnya menjari kerja. Mungkin dari sinilah perasaanku kepada Sari mulai pudar. Lama sudah tak kunjungi dia. Lama sudah tak kutahu kabarnya. Hingga pada suatu ketika, aku teringat kembali akan dirinya. Aku berencana untuk sejenak mengunjunginya. Dan pada waktu itu posisiku sudah tak lajang lagi, aku baru saja berpacaran dengan Nadia, gadis kedua yang kembali mengetuk hatiku. Namun kurahasiakan hubunganku dengan Nadia, dengan harapan dia masih berkesempatan untuk menyatakan cintanya kepadaku dan seketika itu pula aku tinggalkan Nadia. Namun sungguh di luar dugaan, dia ternyata sudah berpacaran pula. Dan yang membuat aku terkejut setelah kuketahui jikalau pacarnya hanyalah seorang kondektur bus kota yang hidup di terminal. Oh Sari, kenapa kau diam ketika aku menyatakan cinta kepadamu, sementara kau menerima cinta seorang kondektur bus yang hidupnya tidak jelas. Dan yang bikin aku semakin gemetar, ternyata dia sempat mencintaiku namun tidak berani mengungkapkan. Ya T..U....H...A...N... sungguh penantianku selama enam tahun ini terasa sakit kala itu. Hingga rasa cinta yang membara kala itu, kini sedikit demi sedikit berubah jadi kebencian yang sangat.
Hingga kini aku jalani kehidupan asmaraku dengan Nadia. Kami berhubungan cukup baik. Ada kalanya kami bertengkar, dan ada kalanya pula kami bermesraan. Lika – liku dalam berpacaran aku habiskan dengan Nadia hingga dua tahun tak terasa. Namun keadaan kembali berubah tatkala kedatangan Dita dalam hidupku.
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. PRIE BLOG'S - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger